SEJARAH PERJUANGAN SULTAN IBRAHIM CHALILUDDIN RAJA PASIR (SADURANGAS) – KALIMANTAN TIMUR 1899-1912
Oleh :
Pr. Adjie Benni Syarief Fiermansyah Chaliludin bin Pr. Adjie Bachtiar Chaliludin bin Pr. Adjie Achmad Mulia Chaliludin bin Pr. Adjie Abdulwahid Chaliludin bin Sultan Ibrahim Chaliludin
Perjuangan rakyat Indonesia dalam revolusi fisik 1945-1949 membela proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang bergelora di seluruh wilayah nusantara sehingga negara kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini masih kokoh dan tegak berdiri tidak terlepas dari rentetan perjuangan rakyat Indonesia yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia yang terjadi sebelum lahirnya negara ini (Indonesia).
Salah satu perjuangan rakyat Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Pasir Tanah Grogot (Kalimantan Timur) adalah perjuangan atau peperangan terhebat yang terjadi pada tahun 1915-1916. Hanya kurang dari satu abad yang lalu peristiwanya terjadi, akan tetapi hal ini cukup membuktikan bahwa di mana-mana penjajahan Belanda itu selalu ditentang oleh bangsa Indonesia yang mencintai kemerdekaannya.
Seorang tokoh yang bernama Sultan Ibrahim Chaliludin (Adjie Medje), seorang raja dari kerajaan Pasir (dahulu bernama Sadurangas, Kalimantan Timur) mempunyai hubungan erat riwayat hidupnya dengan peristiwa tersebut. Meskipun kejadiannya ini jauh sebelum terjadinya revolusi fisik (1945-1949) namun demikian, mereka itu (salah satunya adalah Sultan Ibrahim Chaliludin) telah meletakan dasar bagi perjuangan kita belakangan, yang kini telah memiliki negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka.
Asal Usul Kerajaan Pasir (Sadurangas)
Kerajaan Pasir dahulunya bernama kerajaan “Sadurangas”. Adapun asal-usul keturunan raja-raja Pasir ialah Kuripan (Amuntai sekarang), yang menurut ceritanya pada pertengahan abad ke XVI (kira-kira dalam tahun 1565) di daerah Kuripan ini mengalami pergolakan di kalangan pemerintahannya sendiri.
Pada waktu itu Temenggung Duyung dan Temenggung Tukiu, dua orang Panglima Kerajaan Kuripan yang menderita akibat perang saudara di Rantau Panyaberangan, telah melarikan diri ke daerah timur melalui desa Batu-Butok, dengan membawa seorang bayi perempuan.
Bayi kecil tersebut bukanlah diculik, akan tetapi dilarikan dengan sengaja dalam suatu rencana yang telah diatur sebelumnya. Sang bayi adalah puterinya Aria Manau (juga merupakan salah seorang Panglima Kuripan), rekan Temenggung Duyung sendiri, yang dengan susah payah melalui rimba belantara akhirnya sampai juga ke bagian Timur yang bernama “Sadurangas”, yang ketika itu ternyata merupakan ”daerah tak bertuan”.
Setelah Aria Manau mengetahui bahwa puteri kesayangannya telah diselamatkan ke Sadurangas, maka dengan segera Panglima ini menyusul ke sana untuk menemui puterinya. Setelah sekian lama berada di daerah tersebut, oleh karena penduduk sekitar tidak mengenal namanya dan dari mana asal-muasalnya maka penduduk sekitar lebih mengenal Aria Manau dengan sebutan “Kakah Ukop” yang berarti orang tua pemilik kerbau putih yang bernama Ukop. Karena pada waktu itu Aria Manau memelihara kerbau putih bernama Ukop, sedangkan istrinya sendiri oleh penduduk sekitar dipanggil dengan sebutan “Itak Ukop” sedangkan sang bayi dinamainya “Putri Betung”.
Kira-kira pada pertengahan tahun 1575 Masehi, Putri Betung diangkat dan diakui oleh penduduk sekitar sebagai raja pertama di Sadurangas (Pasir). Sebagai seorang raja maka Putri Betung berhak menerima barang-barang kerajaan berupa; ceret, tempat air, pinggan melawen, batil dari tembaga ~barang-barang tersebut ada disimpan oleh Adjie Lambat~, gong tembaga ada di Batu Butok, sumpitan akek, kipas emas, sangkutan baju, dan sebuah peti dari batu yang berasal dari seseorang yang ditemui “Kakah Ukop” dalam suatu pelayaran yang mengharuskannya menyerahkan barang-barang tersebut apabila di Pasir telah memiliki seorang raja.
Rakyat di daerah tersebut merasa berbahagia mempunyai seorang raja putri yang selain arif bijaksana, tetapi juga terkenal kecantikannya.
Setelah Putri Betung dewasa, Ia dikawinkan dengan seorang raja dari tanah Jawa (Giri), bernama Pangeran Indera Jaya, yang datang dengan kapal layar yang membawa sebuah batu. Setelah perkawinan itu, maka batu yang dibawanya dari Jawa (Giri) lalu dibongkarnya, sehingga sampai sekarang batu tersebut masih tersimpan di Kampung Pasir (Benua) yang lebih dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang.
Dari perkawinan dengan Pangeran Indera Jaya, Putri Betung memperoleh seorang putera yang diberinya nama Adjie Patih dan seorang puteri yang diberinya nama Putri Adjie Meter. Adjie Patih kemudian menjadi raja menggantikan Putri Betung. Dari hasil perkawinannya, Adjie Patih memperoleh seorang putera yang diberinya nama Adjie Anum. Sedangkan saudaranya Adjie Patih yang bernama Putri Adjie Meter menikah dengan seorang Arab keturunan Ba’alwi dari Mempawah – Kalimantan Barat. Suami Putri Adjie Meter inilah yang menyebarkan agama Islam di daerah Pasir, kurang lebih 250 tahun yang lampau. Dari hasil perkawinannya dengan seorang Arab inilah, Putri Adjie Meter memperoleh dua orang anak yang diberinya nama Imam Mustafa dan Putri Ratna Berana. Salah seorang anak Putri Adjie Meter yang bernama Putri Ratna Berana ini kemudian dikawinkan dengan anaknya Adjie Patih yang bernama Adjie Anum. Dari sinilah selanjutnya menurunkan raja-raja Pasir hingga saat ini.
20100528
Diposting oleh achmad di 07.44
0 komentar:
Posting Komentar